Ada begitu banyak kutipan dan kalimat yang diucap lebih dari sekali
oleh Bung Karno. Ya, repetisi. Misal soal humanismenya Gandhi. Misal
tentang anti imperialisme dan kolonialisme. Termasuk tentang “rakyat”
sebagai separuh nafasnya. Rakyat bagi Bung Karno, ibarat rahim ibu yang
telah melahirkannya ke dunia.
Tidak heran jika naluri, insting kerakyatannya begitu tajam. Tidak
dalam arti harfiah, tetapi ibarat satu orang rakyatnya tersakiti nun di
pedalaman negeri, jeritannya terdengar hingga ke relung hati Sukarno.
Sama sekali tidak heran jika body language Sukarno seirama benar dengan genderang kemauan rakyat.
Protokol bisa ia terabas. Penjagaan bisa ia kelabui. Apa pun ia
tabrak, jika alasannya adalah untuk “dekat dengan rakyat”. Karena itu,
mengalir cerita nyata kebiasaan Sukarno menyelinap di malam buta beserta
dua-tiga orang pengawal, berpakaian ala kadarnya, dan membaur di tengah
hiruk-pikuk Pasar Senen. Atau kebiasaannya menyelinap keluar, berkaus
oblong, bersandal jepit, dan mencegat penjual sate ayam keliling.
Memesannya, dan menyantapnya di trotoar jalan.
Dengan kapasitasnya sebagai seorang presiden, seorang kepala negara,
ia bisa sewaktu-waktu bertemu rakyatnya. Setidaknya, menyelipkannya di
antara kepadatan aktivitas. Seperti peristiwa awal tahun 60-an. Usai
menerima kunjungan seorang duta besar, seperti biasa, Bung Karno
mengantar hingga ke tangga istana.
Saat Bung Karno melihat sang Duta Besar sempat menghentikan
sedetik-dua pandangannya ke arah helikopter yang terparkir, spontan Bung
Karno bertanya, “Pernahkah Tuan naik helikopter?” Kebetulan si duta
besar menjawab, “Belum.” Sontak, Bung Karno bukannya berbalik masuk
kembali ke Istana, melainkan menggandeng lengan duta besar itu ke arah
helikopter.
Diajaknya sang dubes naik helikopter. Pilot dan pengawal yang
senatiasa sigap dan siaga, tidak perlu waktu lama untuk membuat capung
besi itu mengudara. Arah yang dituju adalah Sukabumi. Tidak terlalu jauh
dari Ibukota. Pada sebuah lapangan terbuka, pilot diperintahkan untuk
mendarat.
Bayangkan. Tahun 60-an, di saat penduduk desa masih gemar mencium
sensasi aroma asap knalpot, tiba-tiba kedatangan helikopter. Seketika
massa pun berdatangan ke arah lapangan. Dalam waktu sekejap, suasana
sudah seperti rapat akbar. Bung Karno pun turun dan menghampiri mereka.
Di tengah kerumunan rakyat, bagi Bung Karno, laksana hidup menjadi
lebih hidup lagi. Ia bercengkerama. Berdialog. Bahkan mengajak bernyanyi
bersama. Satu jam cukup. Bung Karno pun berpamitan dan kembali ke
Istana. Momen tadi, laksana suntikan darah segar bagi Sukarno untuk
kembali melakoni hari-harinya yang berat. (roso daras)
(read more: http://rosodaras.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga ente puas dengan celotehan ane, kritik saran celaan pujian ente sangat berarti semuanya bagi ane. Ane tunggu komentar ente (No offense, No SARA).