Sekilas inderacp.blogspot.com

  • kutipan kata mutiara bung karno dalam goresan digital.

Rabu, 21 Desember 2016

Kilas Timnas: Piala Tiger 2004

Masih ingat betul sakitnya ketika di tahun 2002 menyaksikan Peter Withe, bersama tim Thailand besutannya berpesta di Gelora Bung Karno untuk menjadi juara Piala Tiger 2002 setelah menaklukkan timnas Indonesia melalui drama adu penalti. Dua tahun setelah itu, setelah kontrak Peter Withe dengan Thailand berakhir, dia menerima tawaran melatih timnas Indonesia menggantikan pelatih asal Bulgaria: Ivan Venkov Kolev dengan harapan mampu mengangkat prestasi timnas Indonesia sebagaimana yang telah ia lakukan bersama timnas Thailand. Withe sendiri, sebelum menjadi pelatih, memiliki rekam jejak yang bagus sebagai pemain. Sebagai informasi, dia (Withe) adalah pencetak gol penentu Aston Villa ketika mengalahkan Bayern Munich di final Piala Champions 1982 yang sekaligus gelar Piala Champions satu-satunya sampai 2016 untuk Aston Villa. Tahun pertama Withe menangani timnas langsung dihadapkan dengan dua agenda yaitu: kualifikasi Piala Dunia 2006 dan turnamen Piala Tiger 2004. Mengejutkan, karena dia melakukan berbagai perubahan. Misalnya dari formasi yang dipakai timnas. Biasanya timnas biasa memakai pola 3-5-2, imbas dari berbagai tim di liga Indonesia yang banyak memakai formasi tersebut, di tangan Withe timnas menjadi terbiasa dengan formasi 4-4-2. Formasi yang sering dianggap sebagai formasi modern sepakbola.

Tidak hanya sampai disitu, dari pemilihan pemainpun dia juga mengejutkan. Bagaimana tidak, begitu banyak nama baru dia masukkan ke dalam tim. Sebut saja: Saktiawan Sinaga, Mahyadi Panggabean, dan Boaz Theofillus Erwin Solossa. Nama terakhir pada saat itu begitu mengejutkan. Tidak banyak yang mengenalnya. Bagaimana tidak, usianya saja masih 18 tahun pada saat itu. Klub profesionalpun dia juga belum bergabung. Jam terbang dan prestasi dia yang tertinggi pada saat itu adalah menjadi bagian dari tim PON Papua yang meraih medali emas di cabang sepakbola PON 2004, Sumatera Selatan bersama Jawa Timur (pada saat itu, diputuskan tim PON Papua dan Jawa Timur menjadi juara bersama karena hingga matahari terbenam tidak ditemukannya pemenang pertandingan, sementara stadion yang digunakan belum memiliki penerangan sama sekali). Nama-nama tersebut dipadukan dengan nama-nama senior seperti: Hendro Kartiko dan Kurniawan Dwi Yulianto, yang pada saat itu juga merupakan pemain kunci Persebaya Surabaya dalam meraih gelar juara Liga Indonesia 2004, serta Ilham Jaya Kesuma, yang mampu menyeruak di antara kepungan striker-striker asing untuk menjadi top skor Liga Indonesia 2004.

Pola baru, pemain baru, pelatih juga baru. Mau jadi apa timnas kita? Pertanyaan tersebut muncul di awal perjuangan mereka di Piala Tiger 2004. Apalagi di ajang kompetitif sebelumnya,
timnas gagal tampil impresif di Pra-Piala Dunia 2006.Tapi mereka membuktikannya. Timnas begitu beringas menghajar lawan-lawannya di fase grup dengan menceploskan 17 gol dan tanpa kemasukan sekalipun! Vietnam yang menjadi tuan rumah fase grup, dibabat 3-0 di depan pendukungnya, yang membuat Vietnam gagal mewujudkan ambisinya lolos dari fase grup dan membuat pelatihnya Edson Tavares mengundurkan diri. Sempat tertahan tanpa gol dengan Singapura, tidak menghalangi timnas lolos ke babak semifinal sebagai juara grup ditemani Singapura sebagai runner-up grup dan akan menghadapi Malaysia di dua partai kandang-tandang.

Di partai semifinal, timnas menghadapi Malaysia yang lolos sebagai runner-up grup B terlebih dahulu di Gelora Bung Karno sebelum tandang ke Stadium Bukit Jalil. Bermain di kandang, saya ingat betul tepatnya
dua hari setelah bencana besar tsunami di Asia Tenggara, penampilan di fase grup yang begitu meyakinkan serta lawan yang dianggap “Cuma” runner-up di fase grup membuat kepercayaan yang tinggi begitu menyelimuti timnas sebelum laga semifinal pertama tersebut. Walau sebenarnya timnas juga tidak bisa bermain dengan full-team, tanpa target man utama Ilham Jaya Kesuma yang terkena kartu merah saat menghadapi Kamboja di pertandingan terakhir fase grup, dan Boaz Solossa, sang wonderboy yang absen gara-gara aturan akumulasi kartu kuning. Namun suporter timnas tetap percaya, timnas akan dengan mudah menggulung Malaysia di Gelora Bung Karno. Kepercayaan tersebut seolah semakin menjadi nyata ketika belum genap sepuluh menit pertandingan berlangsung, Kurniawan Dwi Yulianto menggetarkan jala gawang Malaysia. Skor 1-0 untuk Indonesia. Tersengat gol tersebut, Malaysia bangkit dan menceploskan dua gol ke gawang Hendro Kartiko dua-duanya lewat kaki Liew Kit Kong. Hasil akhir, Malaysia mencuri kemenangan 2-1 di Gelora Bung Karno, yang berarti Malaysia berhasil unggul secara agregat dan punya modal 2 buah gol tandang. Timnas terjepit, kemenangan menjadi hal yang wajib diwujudkan di Stadion Bukit Jalil. Bukan sekedar kemenangan, karena kemenangan yang dibutuhkan harus minimal dengan selisih 2 gol atau kalaupun dengan selisih satu gol, timnas harus mencetak gol dengan jumlah lebih banyak dari 2 gol. Berat buat timnas rasanya, tapi Malaysia juga tidak jumawa. Mereka tetap waspada dengan potensi timnas Indonesia. Setelah laga, Bertalan Bicskei, pelatih Malaysia setelah konferensi pers, ketika ditanya wartawan siapa pemain Indonesia yang paling bagus dan diperhitungkannya, Bertalan langsung menjawab Kurniawan, bukan Ilham Jaya Kesuma yang menjadi pencetak gol terbanyak atau Boas Salossa striker muda yang rajin dan sering membahayakan gawang lawan. Di luar stadion, harapan suporter timnas yang membumbung tinggi, namun tidak tewujud membuat suporter Indonesia yang kecewa marah dan mengakibatkan situasi yang tidak kondusif hingga para pemain Malaysia terkurung lama di ruang ganti pemain.

Berbekal hasil negatif tersebut, timnas berangkat ke Kuala Lumpur. Berat, tapi timnas tidak sendirian. Di stadion sudah menunggu ribuan pendukung timnas yang siap menemani timnas untuk berjuang. Kurniawan yang menjadi satu-satunya pencetak gol timnas di semifinal pertama, dan menjadi kekhawatiran Bertalan, pelatih Malaysia, tidak turun sebagai starting eleven. Boaz dan Ilham kembali bermain sebagai starting eleven. Malaysia yang dalam keadaan unggul bermain lepas tanpa beban di awal babak pertama. Malaysia semakin di atas angin ketika pada menit ke-27 Khalid Jamlus membawa Malaysia unggul 1-0 dan 3-1 secara agregat. Timnas makin terjepit. Butuh minimal dua gol buat timnas untuk menahan Malaysia dikandangnya untuk tetap menjaga timnas tetap di jalur juara. Hingga akhir babak pertama, keadaan belum berubah.

Babak kedua berjalan sepuluh menit, Withe memasukkan Kurniawan menggantikan Ismed Sofyan. Kekhawatiran Bertalan seakan menjadi nyata.  Hanya empat menit setelah masuk lapangan, striker legendaris timnas jebolan program Primavera dan pernah menjadi bagian dari tim Serie-A Sampdoria tersebut dengan kelincahannya
berhasil menerobos sisi kanan pertahanan lawan, untuk kemudian melepaskan tendangan lambung yang keras dan membobol gawang Malaysia. Tak lama berselang, dia berhasil kembali menceploskan bola, namun sayang gol tersebut dianulir karena Kurus –sapaan akrab Kurniawan- telah berada dalam posisi off-side.

Setelah itu serangan bergelombang terus dilancarkan oleh timnas. Gol seolah tinggal menunggu waktu. Entah setan apa yang merasuki para punggawa timnas, hingga mereka bisa menceploskan 3 gol tambahan lewat Charis Yulianto, Ilham Jaya Kesuma dan Boas Solossa. Tidak berkutik Malaysia dibuatnya. Harimau Malaya dibungkam di depan pendukungnya. Empat gol disarangkan Indonesia di babak kedua second-leg semifinal. Hasil akhir Indonesia 4-1 Malaysia. Tim Garuda menuju final, menang agregat gol 5-3, bertemu dengan Singapura yang mengalahkan kuda hitam Myanmar (yang dilatih oleh Ivan Kolev, pelatih timnas di Piala Tiger 2002).

Singapura jelas bukan lawan yang mudah. Bagaimana tidak, di fase grup hanya Singapura satu-satunya tim yang gagal dibekap timnas.  Leg pertama final digelar di Gelora Bung Karno. Singapura di bawah asuhan Radojko “Raddy” Avramovic tampil dengan pertahanan yang begitu solid dan mengandalkan serangan-serangan balik yang mematikan. Selain itu, di gelaran Piala Tiger ini, Singapura mengandalkan para pemain naturalisasi, yang sedikit banyak mempengaruhi gaya main Singapura. Saya masih ingat betul bagaimana hilang akalnya Ilham Jaya Kesuma menerobos dua palang pintu Singapura duet kapten tim Aide Iskandar dan pemain naturalisasi mereka Daniel Bennett yang mampu menjaga gawang Lionel Lewis, yang juga tampil sangat solid di turnamen ini, dari ancaman striker lawan. Di lini penyerangan sama saja, duo pemain naturalisasi Singapura asal benua Afrika: Itimi Dickson dan Agu Casmir mutlak menjadi mimpi buruk pertahanan Indonesia. Belum lagi terobosan-terobosan dari sayap dan umpan yang berbahaya dari pemain lincah Singapura Muhammad Ridhuan.

Sepakan keras Daniel Bennett dari luar kotak penalti yang sempat membentur bek timnas, Firmansyah, membawa Singapura unggul 1-0. Di tengah usaha timnas untuk mengejar ketinggalan, sebuah akselerasi dari sisi kiri timnas Indonesia oleh Boaz Solossa, membuat Baihakki Khaizan harus menghentikan paksa Boas Salossa. Petaka untuk timnas. Sang wonderboy ditandu keluar lapangan, tidak bisa meneruskan pertandingan dan harus absen di partai final leg kedua di Singapura. Singapura terus merajalela dan menambah gol lagi lewat Khairul Amri. Singapura unggul 2-0. Pelanggaran keras Mauly Lessy terhadap Itimi Dickson di dekat kotak penalti yang menghasilkan kartu merah untuk dirinya semakin membuat timnas terpuruk. Timnas bermain dengan 10 orang pemain, Singapura semakin di atas angin.

Dominasi Singapura semakin nyata ketika solo run dari sisi kanan pertahanan Indonesia oleh Itimi Dickson, yang diakhiri dengan umpan silang, disergap dengan sempurna oleh Agu Casmir menjadikan 3-0 skor untuk Singapura. Indonesia mendapat gol hiburan lewat sepakan keras Mahyadi Panggabean di penghujung laga. Hasil akhir Indonesia 1- Singapura 3. Suporter timnas dikecewakan lagi di Gelora Bung Karno. Tapi timnas masih ada satu laga lagi, kekalahan di Senayan tidak membuat timnas gentar kala harus tampil di Stadion Nasional Kallang, Singapura, di leg kedua pertandingan final. Harapan untuk mengulangi penampilan di Malaysia menjadi kunci, timnas asuhan Peter Withe terbang ke Singapura dengan optimisme.

Tapi Singapura lebih kuat daripada Malaysia. Tidak butuh waktu lama bagi Singapura untuk membuyarkan optimisme timnas. Hanya 5 menit setelah kick-off, terobosan Indra Shahdan Daud yang diakhiri tendangan keras mampu merobek jala gawang Hendro Kartiko. Semakin terpuruk timnas, setelah wasit menunjuk titik putih karena pelanggaran Optimisme tersebut mulai buyar ketika wasit menunjuk titik putih setelah terjadi pelanggaran terhadap pemain Singapura di kotak penalti Indonesia. Agu Casmir yang menjadi algojo tidak menyia-nyiakan peluang dan memperbesar keunggulan Singapura 2-0 dan 5-1 secara agregat yang bertahan hingga turun minum. Di babak kedua, butuh 4 gol untuk menjadi juara timnas mencoba memberikan perlawanan sengit. Sayang, hanya 1 gol yang berhasil dilesakkan oleh timnas melalui Elie Aiboy. Jelas tidak cukup. Hingga akhir peluit panjang dibunyikan, skor 2-1 untuk Singapura bertahan. Singapura menjadi juara kedua kalinya di ajang Piala Tiger, dan Indonesia untuk ketiga kalinya secara beruntun menjadi runner-up.

Timnas Piala Tiger 2004 ini saya kenang sebagai salah satu timnas yang paling agresif dan atraktif yang pernah saya saksikan. Hingga saat ini, 2016, belum ada tim yang sanggup menyamai produktivitas timnas di fase grup Piala Tiger/ AFF yang berhasil menceploskan 17 gol tanpa pernah kebobolan pula. Setelah pagelaran Piala Tiger ini banyak pemain timnas yang bermain di luar negeri. Misalnya Elie Aiboy dan Bambang Pamungkas di Selangor FA, dan Ilham Jaya Kesuma di MPPJ Selangor.